Klepon Sebagai Warisan Rasa Budaya

 Promosi Budaya Kuliner Lokal melalui Kedai “Klepon-Ku



📸 Gambar 1. Poster Digital Sebagai Bentuk Promosi Klepon, Kedai “Klepon-Ku”

(Sumber: Desain dan dokumentasi pribadi mahasiswa, 2025)

Pendahuluan

       Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan budaya yang sangat beragam, salah satunya tercermin melalui warisan kuliner tradisional. Makanan tradisional tidak hanya berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan pangan, tetapi juga sebagai media penyampai nilai sejarah, identitas, dan kearifan lokal. Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, banyak makanan tradisional mulai tergeser oleh makanan instan dan kuliner modern yang lebih praktis dan cepat disajikan. Kondisi ini menjadikan promosi budaya kuliner sebagai sebuah kebutuhan penting agar warisan tersebut tidak hilang dari ingatan generasi muda.

    Salah satu makanan tradisional Indonesia yang masih bertahan hingga saat ini adalah klepon. Klepon merupakan jajanan pasar berbahan dasar tepung ketan dengan isian gula jawa cair dan balutan kelapa parut. Bentuknya sederhana, namun cita rasanya khas dan sarat makna budaya. Melalui artikel ini, klepon diangkat sebagai warisan rasa budaya yang patut dilestarikan, sekaligus dipromosikan melalui kehadiran kedai “Klepon-Ku” yang berlokasi di Pasar Oro-Oro Dowo, Malang, dan Alun-Alun Kota Batu.


Sejarah dan Asal-Usul Klepon

    Klepon dikenal sebagai bagian dari jajanan tradisional Jawa yang telah ada sejak puluhan tahun lalu. Dalam berbagai literatur kuliner tradisional Indonesia, klepon termasuk ke dalam kelompok kue basah yang biasa dijajakan di pasar tradisional atau disajikan dalam acara keluarga dan kegiatan adat. Menurut Nimpuno (2016), jajanan pasar seperti klepon merupakan hasil dari pengetahuan lokal masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun melalui praktik memasak sehari-hari.

    Klepon juga mencerminkan kesederhanaan masyarakat agraris Jawa yang memanfaatkan bahan-bahan lokal seperti tepung ketan, kelapa, dan gula jawa. Bahan-bahan tersebut mudah ditemukan dan diolah tanpa teknologi modern. Sri Owen (1999) menjelaskan bahwa banyak makanan tradisional Indonesia lahir dari kreativitas masyarakat dalam mengolah hasil bumi yang tersedia di sekitarnya. Oleh karena itu, klepon tidak hanya sekadar makanan, tetapi juga representasi hubungan manusia dengan alam dan lingkungannya.

    Menariknya, klepon juga dikenal hingga ke luar negeri, terutama di Belanda, sebagai bagian dari jejak sejarah migrasi masyarakat Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa klepon memiliki nilai budaya yang melampaui batas geografis dan mampu menjadi identitas kuliner Indonesia di kancah internasional (Cottaar, 2006).


Makna Budaya di Balik Klepon

    Di balik bentuknya yang kecil dan sederhana, klepon menyimpan makna filosofis yang dalam. Tekstur kenyal dari tepung ketan melambangkan kebersamaan dan kekompakan, sementara gula jawa cair di dalamnya mencerminkan kejutan manis dalam kehidupan. Saat digigit, klepon memberikan sensasi “meletup” di mulut, seolah mengingatkan bahwa kehidupan tidak selalu tampak manis dari luar, tetapi menyimpan rasa yang berharga di dalamnya.

    Makna simbolis seperti ini sering kali hadir dalam makanan tradisional Indonesia. Menurut Owen (2019), kuliner tradisional tidak dapat dipisahkan dari nilai simbolik dan sosial masyarakat yang menciptakannya. Oleh karena itu, melestarikan klepon berarti juga menjaga nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.


Proses Pembuatan Klepon sebagai Warisan Pengetahuan

    Proses pembuatan klepon tergolong sederhana, namun membutuhkan ketelitian dan pengalaman. Tepung ketan diuleni dengan air hingga kalis, lalu dibentuk bulat dan diisi gula jawa. Setelah direbus hingga matang, klepon digulingkan ke dalam kelapa parut yang telah dikukus. Proses ini mencerminkan pengetahuan kuliner tradisional yang diwariskan secara lisan dan praktik langsung.

    Menurut Kharie (2015), keterampilan membuat kue tradisional merupakan bentuk intangible cultural heritage yang harus dijaga keberlangsungannya. Jika generasi muda tidak lagi mengenal cara pembuatannya, maka makanan tersebut berpotensi hilang, meskipun namanya masih dikenal.


Klepon-Ku: Menghidupkan Tradisi di Ruang Publik

    Di tengah tantangan pelestarian kuliner tradisional, kehadiran kedai “Klepon-Ku” menjadi contoh nyata upaya menghidupkan kembali jajanan tradisional di ruang publik. Kedai ini hadir di Pasar Oro-Oro Dowo, Malang, serta Alun-Alun Kota Batu, dua lokasi yang ramai dikunjungi masyarakat lokal maupun wisatawan.

    “Klepon-Ku” tidak hanya menjual klepon sebagai produk makanan, tetapi juga sebagai pengalaman budaya. Pengunjung dapat melihat langsung proses penyajian, menikmati klepon dalam kondisi hangat, serta merasakan cita rasa tradisional yang autentik. Kehadiran kedai ini membuktikan bahwa kuliner tradisional masih memiliki tempat di tengah masyarakat modern apabila dikemas dengan baik.



📸 Gambar 2. Klepon yang disajikan di Kedai “Klepon-Ku”
(Sumber: Dokumentasi pribadi mahasiswa, 2025)


Klepon sebagai Daya Tarik Budaya dan Ekonomi Lokal

    Promosi klepon melalui kedai seperti “Klepon-Ku” juga memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat lokal. Kuliner tradisional memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai bagian dari ekonomi kreatif berbasis budaya. Dengan bahan baku lokal dan proses produksi sederhana, klepon dapat menjadi produk UMKM yang berkelanjutan.

    Nimpuno (2016) menegaskan bahwa jajanan pasar memiliki peran penting dalam mendukung ekonomi rakyat kecil. Ketika klepon dipromosikan secara kreatif melalui media digital seperti blog, poster, dan video, jangkauan pasarnya menjadi lebih luas dan relevan dengan gaya hidup masyarakat saat ini.


Peran Media Digital dalam Promosi Budaya Klepon

Pemanfaatan media digital menjadi strategi penting dalam promosi budaya kuliner. Blog sebagai media utama memungkinkan penyajian informasi yang mendalam melalui artikel, visual melalui poster, serta audiovisual melalui video promosi. Ketiga elemen ini saling melengkapi dalam menyampaikan pesan budaya secara efektif.

Dalam proyek ini, artikel berfungsi sebagai media edukasi, poster sebagai media visual persuasif, dan video sebagai media pengalaman yang memperkuat emosi penonton. Pendekatan ini sejalan dengan konsep promosi budaya yang tidak hanya informatif, tetapi juga membangun kedekatan emosional dengan audiens. 

Berikut Link Video You-Tube yang mempromosikan Klepon: 

https://youtu.be/L3Mn6RLSBtU?si=_pa1T6m7GTb__vF0


📸 Gambar 3. Suasana penjualan klepon di lokasi Kedai “Klepon-Ku”
(Sumber: Dokumentasi pribadi mahasiswa, 2025)


Ajakan untuk Melestarikan Warisan Rasa Budaya

    Klepon bukan sekadar jajanan tradisional, melainkan bagian dari identitas budaya Indonesia yang perlu dijaga dan diwariskan. Melalui kehadiran kedai “Klepon-Ku”, masyarakat diajak untuk kembali menghargai rasa tradisi di tengah derasnya budaya modern. Setiap gigitan klepon merupakan bentuk dukungan terhadap pelestarian budaya kuliner lokal.

    Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita sebagai generasi muda ikut berperan aktif dalam melestarikan warisan budaya ini. Mengunjungi kedai klepon, mengenalkan klepon melalui media digital, serta memilih produk lokal merupakan langkah sederhana namun bermakna. Coba klepon, rasakan tradisi, dan jadilah bagian dari upaya pelestarian budaya Indonesia.


Penutup

    Klepon sebagai warisan rasa budaya memiliki nilai sejarah, filosofi, dan ekonomi yang tidak ternilai. Melalui promosi budaya yang kreatif dan berkelanjutan, klepon dapat terus hidup dan dikenal oleh generasi masa kini maupun mendatang. Kedai “Klepon-Ku” menjadi contoh bahwa tradisi dan modernitas dapat berjalan berdampingan.

    Dengan dukungan media digital berupa blog, poster, dan video promosi, klepon tidak hanya hadir sebagai makanan, tetapi juga sebagai narasi budaya yang membanggakan. Melestarikan klepon berarti menjaga identitas budaya Indonesia agar tetap hidup di tengah perubahan zaman.


Daftar Pustaka (APA)

    Cottaar, A. (2006). Indisch leven in Nederland. Amsterdam: Meulenhoff.

    Kharie, A. (2015). 150 resep kue tradisional. Jakarta: Demedia.

    Nimpuno, D. (2016). Nostalgia kue tenong. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

    Owen, S. (1999). Indonesian regional food and cookery. London: Frances Lincoln.

    Owen, S. (2019). Sri Owen’s Indonesian food. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Komentar